DENGKI DAN TINGKATAN-TINGKATANNYA

 

IBNU Qudamah mengatakan, hasud merupakan salah satu pintu masuknya iblis ke dalam hati manusia. (Mukhtashar Minhajul Qashidin, Darul Hadits, hal 165).

 Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang umatnya memiliki sifat tersrbut.

Dari Abu Hurairah radiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Janganlah kalian saling membenci, saling memutuskan hubungan, saling mendengki, saling bermusuhan. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudata." . (HR. Al Bukhari no. 6065, 6076 , Muslim, no. 2564). 

A. Makna Dengki 

Dengki merupakan terjemahan kata hasad dalam bahasa Arab. Menurut ar Raghib al Ashfahaniy, hasad (dengki) adalah : "Menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang lain, kadang disertai upaya untuk menghilangkannya". (Mu'jam Mufradat Alfaazhil Qur'an, hal. 90).

Dalam Fathul Bari Liibni Hajar disebutkan, bahwa hasad (dengki) adalah seseorang menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang lain, baik disertai upaya untuk menghilangkannya ataupun tidak. (7 : 231).

B. Tingkatan-tingkatan Hasad (dengki) :

Pada dasarnya setiap orang tidak bisa lepas dari sifat dengki. Abu Nu'aim mengatakan, "Setiap anak Adam itu adalah pendengki. Namun kedengkiannya tidak akan memadharatkan orang yang didengki selama ia tidak mengatakan dengan lisannya atau berbuat dengan tangannya". (Subulus Salam, 1: 236).

Ibnu Rajab menuturkan bahwa hasad merupakan sifat yang tertancap kuat dalam diri manusia, yaitu manusia akan bereaksi tidak suka jika orang lain yang sepadan mengunggulinya dalam beberapa perkara istimewa.  Melihat orang lain mendapat kenikmatan, sikap setiap orang terbagi dalam beberapa tingkatan, yaitu :

1. Berusaha melenyapkan nikmat yang ada pada orang lain dengan berbuat zhalim, baik dengan perkataan maupun perbuatan.

2. Berupaya mengalihkan agar nikmat tersebut berpindah kepada dirinya.

3. Berupaya melenyapkan nikmat tersebut tanpa berharap berpindah kepada dirinya.

Ketiga jenis hasad yang pertama ini semuanya tercela dan dilarang.

4. Meski mendapati dalam dirinya perasaan hasad, namun dia berusaha manahan diri agar tidak berlaku zhalim, baik dengan perbuatan maupun perkataan.  Orang yang seperti ini menurut yang diriwayatkan dari Al Hasan tidak berdosa.

5. Meski mendapati pada dirinya perasaan hasad namun dia berupaya menghilangkannya, berbuat baik terhadap yang dihasadinya, bahkan mendahuluinya dengan berbuat ihsan kepadanya, mendo'akan, dan menyebarkan kebaikannya, sampai perasaan hasadnya hilang dan berganti dengan kecintaan. Inilah derajat keimanan tertinggi yang pelakunya pasti mukmin sejati yang mencintai kebaikan untuk saudaranya seperti dia mencintai kebaikan untuk dirinya sendiri. (Syarah Kitab al Jami' versi terjemah, Pustaka Arafah hal. 148-149). 

Orang yang memiliki hasad tulen tidak ingin orang lain mendapakan kenikmatan dan ingin orang lain selalu di bawahnya. Ia akan merasa senang ketika orang lain mendapatkan musibah, kerugian, atau nama baiknya tercemar. Dengan kata lain  " Senang hati ketika orang lain susah, dan susah hati ketika orang lain senang"

Adapun apabila berharap mendapatkan nikmat seperti yang dimiliki oleh orang lain tanpa ada keinginan nikmat tersebut lenyap dari pemiliknya, ini dinamakan hasad ghibthah. 

Menurut Ibnul Qayyim, hasad gibthah tidak masalah dan pelakunya tidak dicela. Karena hal ini tidak berbeda dengan kompetisi untuk mendapatkan kebaikan. Allah ta'ala berfirman :

"Dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba". (QS. Al Muthaffifin : 26).

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda : "Tidak boleh hasad kecuali terhadap dua orang, yaitu : terhadap orang yang telah Allah berikan kepadanya harta kemudian dia membelanjakannya di jalan kebenaran, dan terhadap orang yang Allah berikan padanya hikmah kemudian dia mengamalkannya dan mengajarkannya".  (Shahih al Bukhati, no. 1409....) Yang ini namanya hasad ghibthah. Ia sekedar pemicu yang pelakunya menjadi tergerak hatinya, lalu ingin mendapatkan bagian kebaikan seperti yang dilihatnya, berharap mampu menyamai, serta ikut untuk berkompetisi. Inilah yang mendorong hasrat pelakunya untuk turut berlomba dusertai perasaan cinta terhadap orang yang dihasadi dan berharap agar kenikmatan itu langgeng bersama orang tersebut.  Hasad yang seperti ini sama sekali tidak termasuk yang dibicarakan dalam surah al Falaq ayat 5. (lihat tafsir al Qayyim, hal. 584).

Untuk hasad jenis ini, Syaikh Abdurrahman As Sa'di mengklasifikasikannya menjadi dua ;

a. Hasad yang terpuji : saat menyaksikan nikmat Allah dalam urusan agama pada diri orang lain, lalu berharap untuk mendapatkan yang semisal, maka perasaan yang seperti ini cita-cita yang baik. Apalagi jika diimbangi dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk meraihnya, maka hal itu merupakan cahaya di atas cahaya.

b. Hasad yang tidak terpuji : berharap mendapatkan kenikmatan duniawi demi kepuasan nafsu belaka sebagaimana Qarun dan yang semisalnya. ( Syarah Kitab al Jami' versi terjemah, Pustaka Arafah hal. 149). Wallahu a'lam bish shawwaab.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERSABAR TANPA BATAS

AMBISI HARTA BERBUAH SURGA

ETIKA BERBISIK