BERUBAHLAH KARENA ALLAH


                      Gambar : by Merdeka


Ketika seseorang melakukan kemaksiatan atau bahkan sudah terjerumus dalam kubangan kemaksiatan, apakah masih ada kesempatan untuk berubah dan kembali pada jalan yang lurus dan benar ?

Mungkin ini di antara pertanyaan yang sering muncul di benak orang yang merasa bahwa dirinya telah berlumuran  dosa dan kesalahan. Karena begitu banyaknya dosa yang diperbuat, adakalanya muncul keputusasaan, kalau ia tidak akan mampu bangkit dan keluar dari lembah dosa.

Selama matahari belum terbit dari barat, segala perubahan tentu saja selalu mungkin untuk terjadi. Selalu ada jalan dan kesempatan bagi siapa pun yang ingin berubah menjadi lebih baik. Ketika seseorang bisa berubah menjadi pribadi yang buruk, berarti ia pun memiliki kesempatan untuk kembali menjadi baik.

Bukankah tidak sedikit orang yang sudah keluar masuk penjara karena kejahatan yang dilakukannya, berubah menjadi seorang alim yang setiap hari aktivitasnya mengajak orang lain pada kebaikan.  Berpindah dari satu masjid ke masjid yang lain, dari satu majlis taklim ke majlis taklim yang lain.

Mari kita coba buka lembaran-lembaran sejarah masa awal kenabian, pasti akan ditemukan kisah perjalanan  hidup para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang memiliki latar belakang jauh dari nilai-nilai agama, lantas menjadi sosok-sosok yang begitu alim dan saleh.

Salah satunya adalah Umar bin Al
khathab. Disebutkan bahwa sebelum menjadi sosok yang lantang menyuarakan al haq (kebenaran), dia adalah seorang yang  jauh dari cahaya kebenaran. Tradisi jahiliyah begitu melekat dalam dirinya. Selain sebagai penyembah berhala, ia pun dikenal sebagai peminum minuman keras.

Namun, bagi Allah tidak sulit untuk memasukkan cahaya kebenaran ke dalam hatinya, hingga akhirnya dia masuk Islam. Mulai saat itulah kehidupannya berubah 360 derajat. Yang awalnya begitu membenci Rasulullah bahkan sampai berniat membunuhnya,  setelah masuk Islam berani pasang badan membela beliau dari gangguan orang-orang kafir Quraisy.

Pintu Perubahan

Ketika Allah menciptakan manusia ,  dibekali-Nya selain dengan akal, juga dengan hawa nafsu. Dengan adanya hawa nafsu ini, maka manusia berpotensi untuk melakukan dosa dan kesalahan.

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Setiap anak Adam suka berbuat dosa..."

Akan tetapi, Allah Maha Pemurah, dibukakannya pintu taubat sebagai titik awal perubahan, untuk keluar meninggalkan dosa menuju cahaya kebaikan.

Maka, sabda beliau tersebut dilanjutkan, "...dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah orang-orang yang bertaubat". (HR. At Tirmidzi).

Secara bahasa taubat artinya kembali. Sedangkan secara istilah (terminologi), taubat berarti kembali dari perbuatan maksiat menuju ketaatan kepada Allah Ta'ala.

Menurut Imam an Nawawi, apabila perbuatan maksiat itu terkait hubungan antar hamba dengan Alla Ta'ala, maka taubat itu memiliki tiga syatat :

1. Berhenti melakukan perbuatan maksiat.
2. Menyesal karena telah melakukan perbuatan maksiat.
3. Mempunyai tekad yang kuat untuk tidak melalukannya kembali.

Namun, jika perbuatan maksiat berkaitan dengan hak manusia, maka ia mempunyai empat syarat. Yaitu, selain tiga syarat di atas, pelaku maksiat harus menyelesaikan permasalahan yang menyangkut hak orang lain. Apabila hak tersebut berupa harta dan semisalnya, dia harus mengembalikannya. Apabila berupa tuduhan zina dan semisalnya, dia harus mengajukan diri untuk menerima hukum had, atau meminta maaf kepadanya.

Lakukan Perubahan karena Allah

Selain syarat-syarat yang disebutkan oleh Imam an Nawawi di atas, Muhammad bin Shalih al Utsaimin menambahkan dua syarat yang lain. Pertama,  taubat itu dilakukan ketika taubat masih diterima. Yaitu, sebelum ajal tiba atau matahari terbit dari barat (kiamat). Dan kedua,  syarat yang paling mendasar adalah taubat itu mesti dilakukan dengan landasan keikhlasan, semata-mata mengharap ridha Allah subhanahu wata'ala. Di samping itu,  juga berharap Allah menerima taubatnya dan mengampuni perbuatan maksiatnya.

Taubat yang dilakukan, bukan karena ingin dipuji atau mencari sensasi, apalagi agar bisa viral. Bukan untuk melegalkan pernikahan. Bukan untuk mendekatkan diri kepada manusia. Tidak pula untuk menghindarkan diri dari hukuman penguasa dan pemimpin.

Perubahan yang didasari karena Allah akan mendorong lahirnya konsistensi dalam menjalani proses perubahan. Tetap  istiqomah meski berbagai rintangan menghadang.

Adapun perubahan yang tidak dibangun di atas pondasi keikhlasan akan melahirkan, menurut bahasa anak-anak muda sekarang, pribadi-pribadi muna. Berusaha tampil baik di hadapan manusia, padahal hakikatnya tidak. Selain itu, ketika faktor-faktor yang menjadi motivasi perubahannya telah tercapai atau mungkin tidak tercapai, biasanya akan kembali berubah pada kondisi semula.

Banyak fakta yang diangkat berita media menjadi pembenaran akan hal itu. Tidak kurang publik figur yang diberitakan hijrah, lalu mereka mengubah penampilan. Awalnya mengenakan busana terbuka kemudian berhijab. Ketika diwawancara media,  ia menceritakan proses hijrahnya dengan berurai air mata. Ehh, tidak berapa lama kembali membuka hijabnya.

Dalam kehidupan masyarakat biasa perubahan dari buruk menjadi baik kemudian kembali lagi menjadi buruk, juga kerap terjadi. Ada orang yang awalnya tidak pernah salat lantas hijrah, ia rajin mengerjakan salat dan pergi ke mesjid. Selalu hadir di setiap majlis taklim.  Karena diberi sedikit ujian kehidupan, ia oleng tidak mampu bertahan, hingga akhirnya kembali terperangkap dalam lingkaran keburukan.

Oleh karena itu, mabda perubahan itu harus benar-benar dibangun di atas pondasi keikhlasan yang totalitas. Karena, pondasi ini akan menjadi landasan berdirinya tiang-tiang perubahan yang tidak mudah roboh.  Orang yang mendasari perubahannya dengan pondasi ini, akan menjalani setiap proses perubahannya dengan  selalu bersandar pada pertolongan  Allah subhanahu wata'ala.  Termasuk memohon pertolongan agar dikaruniai keistiqomahan.

Maka,  doa berikut yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sudah semestinya senantiasa dibaca agar diberi keistiqomahan dalam menapaki jalan perubahan.

"Wahai yang membolak balikkan hati, tetapkanlah hatiku dalam agama-Mu".  (HR. Ahmad, at Tirmidzi, al Hakim).

Wallahu a'lam

Referensi :

Ar Rahiq Al Makhtum Sirah Nabawiyah (versi terjemah),  Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Pustaka Al Kautsar, Jakarta

Syarah Riyadhush Shalihin (versi terjemah), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,  Darus Sunnah, Jakarta






Komentar

Postingan populer dari blog ini

6 MINGGU BERSAMA OPREC ODOP

TETAP BERKARYA DI MASA TUA

AMBISI HARTA BERBUAH SURGA