BIOGRAFI BUYA HAMKA
Media Dakwah.id
TOKOH yang bernama panjang Haji Abdul Malik Karim Amrullah ini lahir pada tanggal 17 Pebruari 1908 Masehi bertepatan dengan tanggal 15 Muharam 1326 Hijriyah di Sungai Batang, Agam, Sumatra Barat. Ia merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Abdul Karim Amrullah dan Siti Safiyah. Ia kemudian lebih dikenal dengan nama penanya, Hamka. Belakangan ia mendapat sebutan Abuya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, artinya ayahku atau orang yang dihormati.
Abdul Malik, nama kecil Hamka, tinggal bersama neneknya, Siti Tarsawa, yang merupakan seorang pengajar tari, nyanyian, dan pencak silat. Ketika berusia empat tahun, ia mengikuti kepindahan orang tuanya ke Padang Panjang. Memasuki umur tujuh tahun, Abdul Malik masuk ke Sekolah Desa. Pada sore harinya belajar di sekolah agama Diniyah School yang didirikan oleh Zainiddin Labay El Yunusy. Namun, pada tahun 1918 ia keluar dari sekolah Desa setelah melewati tiga tahun belajar. Inilah yang menjadi sebab ia pernah ditolak oleh beberapa lembaga pendidikan saat melamar untuk menjadi pengajar, karena tidak memiliki bukti kelulusan.
Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Hamka kecil ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghapal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai nahwu dan ilmu sharaf.
Pada usia 14 tahun, ayahnya mengantarnya pergi mengaji kepada syeikh Ibrahim Musa di Parabek, sekitar lima kilometer dari Bukit tinggi. Selama berasrama, Hamka remaja memanfaatkan hari Sabtu yang dibebaskan untuk keluar dengan pergi berkeliling kampung sekitar Parabek. Karena tertarik mendengar pidato adat, Hamka sering menghadiri pelantikan-pelantikan penghulu, saat para tetua adat berkumpul. Ia mencatat sambil menghapal petikan-petikan pantun dan diksi dalam pidato adat yang didengarnya. Demi mendalami minatnya, ia mendatangi beberapa penghulu untuk berguru.
Usia 16 tahun, tepatnya pada Juli 1924, Hamka melakukan perjalanan ke Yogyakarta. Ia bertemu dengan adik ayahnya, Jafar Amrullah. Pamannya itu membawanya ke tempat Ki Bagus Hadikusumo untuk belajar tafsir Al Quran. Dari Ki Bagus, Hamka mengenal Sarekat Islam. Melalui kursus-kursus yang diadakan Sarekat Islam, ia menerima ide-ide gerakan sosial dan politik. Di antara gurunya saat itu adalah HOS Tjokroaminoto dan Suryopranoto.
Dari Yogyakarta Hamka bertolak ke Pekalongan untuk bertemu dan belajar kepada kakak iparnya (suami dari kakak tirinya), Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Pertemuannya dengan Sutan Mansur mengukuhkan tekadnya untuk terjun dalam perjuangan dakwah. Melalui kakak iparnya ini, Hamka mendapatkan kesempatan mengikuti berbagai pertemuan Muhammadiyah dan berlatih berpidato di depan umum. Selang setahun, ia pulang membesarkan Muhammadiyah di Padang Panjang.
Pernah mengalami penolakan sebagai guru di sekolah Muhammadiyah serta kemampuan berbahasa Arabnya yang minim , mendorongnya pergi ke Mekah. Melalui bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Setelah 7 bulan di Mekah, kembali ke tanah air. Ia aktif sebagai wartawan dan guru mengaji di Deli. Di Medan Hamka aktif sebagai jurnalis dan memimpin Pedoman Masyarakat.
Sebagai penulis, lebih dari 100 karya telah dihasilkannya. Karya terbesarnya adalah tafsir Al Azhar sebanyak 30 juz yang dirampungkannya selama berada dalam tahanan. Kemudian novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk dan Di Bawah Lindungan Kabah.
Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta.. Ia bekerja di Departemen Agama, kemudian mundur karena terjun di jalur politik. Dalam pemilihan umum 1955, Hamka terpilih duduk di Konstituante mewakili Masyumi.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, secara aklamasi Hamka terpilih sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia. Namun pada tahun 1981, ia memilih meletakan jabatannya. Pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka meninggal dunia. Ia dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta. Sejak 2011 ia dinobatkan seagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Hamka bukan hanya tokoh yang dikenal dan dihormati di kalangan bangsa Indonesia, namun juga diakui oleh dunia. Perdana Mentri Malaysia, Tun Abdurrazak ketika menghadiri penganugrahan gelar kehormatan Doktor Honooris Causa oleh Universitas Kebangsaan Malaysia kepada Hamka, menyebut Hamka sebagai "Kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara".
Karya beliau yang pernah saya baca adalah tafsir al Azhar juz III. Tafsir ini disusun dengan gaya bahasa dan pembahasan yang tidak terlalu tinggi, sehingga bisa difahami tidak hanya oleh para ulama, namun juga tidak terlalu rendah sehingga membosankan. Beliau tidak membawakan pertikaian madzhab-mazdhab fiqih, dan berusaha untuk tidak fanatik terhadap faham madzhab tertentu. Bagi saya gaya penulisan tafsir ini sangat menginspirasi untuk menghasilkan tulisan yang berisi dengan gaya bahasa yang mudah difahami.
Referensi :
Wikipedia
E Book, Buya Hamka Biogtafi Tokoh Pendidik dan Revolusi
Komentar
Posting Komentar