MEMBERI TELADAN KEJUJURAN KEPADA ANAK

 PADA tulisan yang lalu saya telah membahas tentang pentingnya keteladanan, baik hubungannya antara pemimpin dengan bawahan, guru dengan murid, orang tua dengan anak, maupun tokoh agama dengan umat.  Kali ini saya akan mencoba membahas tentang memberi teladan kejujuran kepada anak.


Jujur, sebuah kata yang cukup familiar di telinga kita. Tampaknya tanpa didefinisikan pun kita sudah memahami apa itu jujur. Tapi tidak ada salahnya juga kalau kita mencoba menemukan definisinya untuk dapat lebih memahami makna dan cakupannya.


Dalam bahasa Arab jujur itu diungkapkan dengan kata ash shidqu. Menurut Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam syarah (penjelasan) Riyadhush Shalihin, ash shidqu itu adalah adanya kesesuaian antara informasi yang disampaikan  dengan realita. 


Jujur meliputi ucapan dan perbuatan. Seseorang disebut jujur jika batinnya sesuai dengan lahirnya. Perbuatan yang dia lakukan sesuai dengan apa yang terbersit dalam hatinya.


Kebalikan dari ash shidqu adalah al kadzibu (bohong). Sebagaimana ash shidqu (jujur) al kadzibu (bohong) juga bisa dilakukan oleh lisan maupun perbuatan.


 Ketika lisan berdusta berarti mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta. Adapun perbuatan dikategorikan berdusta manakala memperlihatkan tindak-tanduk lahir yang tidak sesuai dengan isi batin. Seperti yang dilakukan oleh kaum munafik. Secara lahir mereka memperlihatkan keislaman ; bersyahadat, salat, zakat, ibadah haji, namun batin mereka hakikatnya menolak.   


Oleh karena itu, dalam salah satu hadisnya  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebutkan bahwa berbohong itu merupakan salah satu tanda kemunafikan.


"Ada empat hal yang apabila seluruhnya ada pada diri seseorang, maka dia termasuk seorang munafik. Dan apabila satu dari empat hal itu berada padanya, maka ia telah memiliki salah satu sifat kemunafikan sampai ia meninggalkannya. Yaitu, apabila dipercaya ia khianat, apabila berbicara dusta, apabila berjanji ingkar, dan apabila berbantah-bantahan tidak terkendali". (HR. al Bukhari dan Muslim).


Kebiasaan berbohong akan mendorong pelakunya untuk kembali berbohong. Jadi biasanya kebohongan itu akan ditutupi lagi dengan kebohongan. Pantas kalau  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa kebiasaan berbohong itu akan menggiring pelakunya pada dosa. Sedangkan dosa akan membawa pada neraka. Berbeda dengan jujur, akan menuntun pada kebaikan, dan kebaikan akan mengantatkan pelakunya ke dalam Surga.


Dewasa ini bisa dikatakan kejujuran  menjadi barang langka. Nyaris dalam setiap lini kehidupan, kejujuran sulit ditemukan yang marak justru  ketidakjujuran.  


Dalam dunia dagang umpamanya, menyaksikan berita di televisi, tidak sedikit pedagang yang nakal.  Demi meraup untung besar menggunakan pewarna pakaian untuk makanan. Supaya dagangan bertahan lama, tega memasukkan bahan- bahan yang sebenarnya berbahaya bagi kesehatan.


 Dalam dunia kerja, di lingkungan lembaga pemerintah dari level bawah sampai atas, sudah menjadi rahasia umum adanya ketidakjujuran. Banyaknya pejabat pemerintah yang terkena OTT KPK  itu merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri sebagai bukti maraknya ketidakjujuran.


Di dunia maya pun berita-berita bohong (hoax) berseliweran dengan motif pelaku yang berbeda-beda. Sebagian karena ingin viral, yang lain demi membela kepentingan kelompok tertentu. Padahal penerintah telah menetapkan ancaman hukuman penjara maksimal enam tahun atau denda maksimal 1 milyar bagi pelakunya, karena melanggar UU ITE.


Memberi Teladan Kejujuran Semenjak Dini


Jujur itu membutuhkan pembiasaan dan harus diterapkan semenjak dini. Dalam hal ini orang tua memiliki peranan penting, sebab mereka merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak.


 Untuk mendidik anak memiliki karakter jujur, tentu tidak cukup dengan hanya diberi nasehat agar jujur. Tapi sangat dibutuhkan keteladanan. 


Sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap pendidikan anak, orang tua tidak boleh membiasakan dusta terhadap anaknya, apakah dengan alasan untuk menghentikan tangisnya, membujuk mereka agar mau melakukan sesuatu, atau demi menenangkan mereka ketika marah.


Mungkin di antara pembaca ada yang pernah mendengar, kalau ada anak yang menangis, susah dihentikan, orang tua menakut-nakuti dengan kebohongan. "Ssst...jangan nangis, ada pak polisi ke sini!"


Kebiasaan lainnya adalah kalau ada orang yang mencari ke rumah, sedangkan orang tua tidak ingin menemuinya, mereka berpesan kepada anak, "Bilang sama tamunya, mama atau bapak tidak ada di rumah". 


Ketika membujuk anak yang susah disuruh makan atau mandi, orang tua biasanya refleks memberi janji, "Ayo makan, nanti mama beliin mainan". Tapi janjinya itu tidak dipenuhi. Apabila ini  sering dilakukan, tanpa disadari anak sudah mendapatkan teladan dan pembiasaan untuk tidak jujur.


Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan, "Barangsiapa berkata kepada anak kecil, 'Kemarilah dan ambillah' lalu ia tidak memberikannya, maka perbuatan itu adalah suatu kedustaan''". (HR. Ahmad).


Abdullah bin 'Amr  meriwayatkan,   "Pada suatu hari ibu memanggilku, sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk di rumah kami. Ibuku berkata, "Kemarilah aku akan memberimu". Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya, "Apa yang akan engkau berikan kepadanya ?" Ibuku berkata, "Aku akan memberinya sebuah kurma". Maka Radulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya, "Kalau engksu tidak memberikan sesuatu kepadanya, maka engkau akan dicatat sebagai  orang yang berdusta". (HR. Abu Dawud dan al Baihaqi).


Bagi orang tua yang mencita-citakan memiliki anak yang jujur, yuk kita tanamkan kejujuran itu semenjak dini. Kita mulai dari diri kita sebagai orang tua  agar mereka bisa meneladani.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERSABAR TANPA BATAS

AMBISI HARTA BERBUAH SURGA

TETAP BERKARYA DI MASA TUA