MENJADI PENUNTUT ILMU DAN PENGAJAR YANG MEMAHAMI ADAB


 


Judul Buku :
Adab-adab Panuntut Ilmu dan Pengajar

Judul Asli    : Adab ad Daaris wa al            Mudarris     
                   
Penulis        :
Syaikh Muhammad Jamaluddin al Qasimi

Penerjemah : 
Izzudin Karimi, Lc.

Penerbit   : 
Darul Haq Jakarta

Tahun Terbit : 2019
Ukuran           : 10x15 cm
Halaman        : vi, 90 hlm
ISBN                : 978-602-6845-49-8



Bagi seorang muslim, menuntut ilmu syariah merupakan pintu untuk memahami agama dengan benar, sebelum kemudian mengamalkannya. Agar ilmu itu melekat dan bermanfaat, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan adab-adab dalam menuntut ilmu. Begitupun dengan pengajarnya.


Buku ini, meski ukurannya kecil, isinya membahas secara tuntas mengenai adab-adab baik bagi penuntut ilmu maupun bagi pengajar.


Sebenarnya buku ini merupakan hasil rangkuman penulis terhadap mukadimah kitab al Majmu' Syarah al Muhadzdzab karya ulama besar, Imam an Nawawi.


Sebelum merinci adab-adab bagi penuntut ilmu maupun pengajar, penulis memaparkan terlebih dahulu  hukum mempelajari ilmu syar'i. Dalam bagian ini disebutkan bahwa hukum mempelajari ilmu syar'i itu terbagi tiga bagian. Pertama, ilmu yang bersifat fardhu 'ain atau disebut juga dharuri (ilmu yang mendesak untuk dipelajari). Kedua, ilmu yang bersifat fardhu kifayah, disebut juga haji (ilmu yang merupakan kebutuhan). Ketiga, ilmu yang bersifat sunnah, disebut juga dengan tahsini (ilmu yang bersifat melengkapi).


Adab seorang pengajar


Perkara paling penting yang dituntut dari seorang pengajar adalah adab pada diri sendiri dan adab pada pelajarannya. Adab pada diri sendiri ini terdiri dari beberapa poin, di antaranya mengikhlaskan niat. Hendaknya tujuan mengajarnya adalah mengharap ridha Allah subhanahu wata'ala, bukan sebagai jembatan untuk meraih tujuan dunia seperti harta, kedudukan, kemasyhuran, memperbanyak murid yang belajar kepadanya, atau yang sepertinya. Di antaranya lagi, menghiasi diri dengan akhlak yang luhur dan mewaspadai sifat-sifat tercela seperti riya, hasad, ujub, dan lainnya.


Adab pada pelajarannya meliputi kesungguhannya dalam menuntut ilmu, membaca dan menelaah, mengajar dan mengkaji, serta menghapal dan menulis.


Di samping itu, hendaknya tidak merasa enggan untuk belajar dari seseorang yang lebih rendah darinya baik dalam hal umur, nasab, keturunan, agama, atau ilmu lainnya.


Masih adab pada pelajarannya, seorang pengajar tidak boleh malu bertanya. Amirul Mukminin, Umar bin Khathab mengatakan, "Barangsiapa yang wajahnya tipis (sehingga malu untuk bertanya), maka ilmunya juga tipis (lemah)".


Selain kedua adab tersebut, disinggung pula adab penulisan dan ta'lim (cara mengajar). Adab penulisan tampaknya penting untuk diungkapkan, karena sebagaimana dikutip oleh penulis dari Imam an Nawawi, "...dengan menulis dia akan mengetahui hakikat ilmu dan bagian-bagiannya yang mendetail, dan ilmunya pun akan melekat pada dirinya, karena menulis akan memaksanya untuk banyak memeriksa dan menelaah, meneliti dan mengkaji ulang...".


Terkait adab dalam mengajar, di antaranya selain ikhlas, seorang pengajar harus bermurah hati dengan membagikan ilmu yang dimilikinya, memahami kadar kemampuan anak didiknya, membuat skala prioritas tentang ilmu yang disampaikan, mulai dari yang lebih penting lalu yang penting.


Adab penuntut ilmu


Untuk adab-adab pada dirinya, tidak berbeda seperti adab-adab pengajar di atas.


Banyak adab yang dirinci oleh penulis dalam buku ini, namun di sini saya ingin menggarisbawahi sikap terhadap guru. Yaitu seorang penuntut ilmu harus melihat gurunya dengan mata penghormatan.  Ini lebih membuka peluang baginya untuk menimba manfaat darinya dan apa yang didengar darinya akan tertanam dengan kuat dalam benak.


Dalam hal ini apa yang dilakukan Imam asy Syafi'i patut diteladani. Begitu hormatnya pada Imam Malik, sebagai gurunya,  dia membuka lembaran-lembaran buku di depannya secara pelan karena merasa segan kepadanya, agar beliau tidak mendengar suaranya.


Pada bagian akhir buku ini, penulis memaparkan adab-adab bersama untuk pengajar dan penuntut ilmu. Hendaknya keduanya tidak melalaikan tugasnya karena sakit  yang ringan. Hendaknya berupaya memiliki kitab, bisa membeli atau meminjamnya. Namun, jika mampu lebih baik membelinya. Apabila meminjam hendaknya segera dikembalikan dan jangan menggelapkan kitab-kitab itu.  Maksudnya meminjam tapi tidak mengembalikannya.


Buku kecil ini sekalipun merupakan buku terjemahan, penerjemah berhasil menyuguhkannya dengan bahasa yang mengalir dan  mudah difahami. Selain kandungannya padat berisi, formatnya yang kecil membuat pembaca tidak cepat lelah dan bosan.  Namun, tampilannya yang kecil ini terkesan seperti buku murahan, tidak elegan, sekalipun sebenarnya isinya sangat luar biasa. Terlepas dari kekurangan ini, buku ini sangat penting untuk dibaca oleh siapapun yang merasa sebagai penuntut ilmu dan pengajar.


Tentang penulis


Bisa dikatakan hampir sepertiga dari buku ini merupakan pembahasan biografi penulisnya. Mungkin ini dianggap sangat penting, mengingat semangat dan kesungguhan beliau yang luar biasa dalam memanfaatkan waktu untuk menuntut ilmu, mengajarkan ilmu dan menuliskannya.


Beliau memanfaatkan setiap detik yang dilalui dari waktunya, menulis di segala tempat yang memungkinkannya untuk menulis, menulis saat naik kereta api, di rumah, saat naik pedati, dan saat rekreasi. Tidak mengherankan jika karya-karya ilmiahnya mencapai seratus, padahal ketika wafat usianya belum mencapai lima puluh tahun.  Membaca bagian ini benar-benar sangat memotivasi dan menginspirasi.


Beliau adalah Imam al Allamah Muhammad Jamaluddin al Qasimi. Lahir di Damaskus pada bulan Jumadil Ula tahun 1283 H. Beliau tumbuh dalam sebuah keluarga ilmu dan takwa. Kakeknya, Syaikh Qasim adalah seorang saleh, ahli fikih negeri Syam. Bapaknya adalah Syaikh Muhammad Sa'id, seorang ulama sekaligus sastrawan.


Beliau dikenal sebagai sosok yang baik dalam agama dan dunia, juga berbakti kepada bapaknya. Perhatiannya terhadap waktu begitu besar. Keteladanannya dalam memanfaatkan waktu patut ditiru.


Dalam sebuah kata mutiaranya beliau mengatakan, "Barangsiapa menyia-nyiakan waktunya, maka sejatinya dia kehilangan sesuatu yang lebih banyak daripada kehilangan uangnya".


Tentang kecintaannya pada kegiatan tulis menulis bisa terlihat dari penuturannya  "Demi Allah, aku tidak melihat kesehatan dan semangat kecuali untuk kegiatan yang aku lakukan ini. Jika aku meninggalkan pena, tidak menulis, maka aku melihat diriku hanyalah seperti ikan ketika berpisah dengan air".


Beliau wafat pada tahun 1332 H


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERSABAR TANPA BATAS

AMBISI HARTA BERBUAH SURGA

TETAP BERKARYA DI MASA TUA