MEMBUKAKAN PINTU RAHMAT MELALUI ISTIGHFAR DAN TAUBAT

 

pixabay

Hakikat Istighfar dan Taubat

Manusia itu merupakan tempat dosa dan lupa. Tidak ada manusia yang steril dari dosa. Akan tetapi, Islam telah menyediakan obat penawarnya berupa istighfar.  

Dalam sebuah keterangan disebutkan bahwa setan berkata, “Aku akan membinasakan anak cucu Adam dengan kesalahan dan dosa-dosa. Tetapi mereka membinasakanku dengan Laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah) dan ucapan istighfar”. 

Dengan istighfar ampunan dapat diraih. Oleh karena itu, dalam banyak ayat Allah memerintahkan untuk beristighfar. Bahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam yang telah diampuni dosa-dosanya pun diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala supaya beristighfar

.وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ 

 “Dan mohonlah ampunan atas dosamu” (QS. Muhammad : 19).

Banyak orang menyangka bahwa istighfar cukup dengan lisan semata. Yaitu mengucapkan astaghfirullah (aku memohon ampun kepada Allah) atau astaghfirullah al azhim (aku memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung), tetapi ucapan tersebut tidak membekas di dalam hati dan tidak berpengaruh terhadap perbuatan.

Imam ar Raghib al Ashfahani menerangkan bahwa istighfar adalah memohon ampun melalui ucapan dan perbuatan. Ketika Allah berfirman,

ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارٗا  

"Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia Maha Pengampun”. (QS. Nuh : 10).

Tidak berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi dengan lisan dan perbuatan. Dikatakan bahwa memohon ampun dengan lisan saja tanpa dibarengi perbuatan, itu merupakan perbuatan orang-orang pendusta. 

Adapun taubat, Imam ar Raghib al Ashfahani menerangkan, “Dalam istilah syara’ (agama), taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya, dan berusaha melakukan gantinya. Jika keempat hal ini telah terpenuhi, berarti syarat taubatnya telah sempurna”.

Sedangkan menurut Imam an Nawawi, secara istilah (terminology), taubat berarti kembali dari perbuatan maksiat menuju ketaatan kepada Allah Ta’ala. 


Tingkatan-tingkatan Taubat

Selanjutnya Imam an Nawawi menyebutkan tingkatan-tingkatan taubat. Ada tiga tingkatan taubat. Taubat yang paling wajib dan paling besar adalah taubat dari kekufuran menuju pada keimanan. 

Katakanlah kepada orang-orang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya), jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu”. (QS. Al Anfal : 38).

Tingkatan berikutnya bertaubat dari dosa-dosa besar. Tingkatan ketiga adalah bertaubat dari dosa kecil.

Berdasarkan dalil al Qur’an, as Sunnah, atau ijma’ (konsensus ulama), taubat merupakan sebuah kewajiban. Setiap orang wajib untuk bertaubat kepada Allah dari setiap dosa.

وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُون

Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung”. (QS. An Nur : 31).

Terkait objek yang dimaksiati, Imam an Nawawi membagi maksiat itu menjadi dua.  Maksiat terkait hubungan seorang hamba dengan Allah subhanahu wata’ala dan maksiat berkaitan dengan hak manusia.

Taubat dari maksiat yang berkaitan dengan hubungan hamba dengan Allah Ta’ala memiliki tiga syarat :

1. Berhenti dari melakukan perbuatan maksiat

2. Menyesal karena telah melakukan perbuatan maksiat

3. Mempunyai tekad yang kuat untuk tidak melakukannya kembali

Apabila salah satu dari tiga syarat tidak terpenuhi, maka taubatnya tidak sah.

Taubat dari maksiat berkaitan dengan hak manusia mempunyai empat syarat. Yaitu, selain tiga syarat di atas, pelaku maksiat harus menyelesaikan permasalahan yang menyangkut hak orang lain. Apabila hak tersebut berupa harta dan semisalnya, dia harus mengembalikannya. Apabila berupa tuduhan zina dan semisalnya, dia harus mengajukan diri untuk menerima hukum had, atau meminta maaf kepadanya. Apabila berghibah, maka dia harus meminta kerelaannya.


                   Khazanahimani.com


Faidah Istighfar dan Taubat 

Pertama, menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya merupakan sumber segala kebaikan, dan dari situlah sumber kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kedua, meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau bertaubat kepada Allah Ta’ala seratus kali dalam sehari. Beliau bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ

Wahai manusia, hendaknya kalian bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya sebanyak seratus kali dalam sehari. (HR. Muslim).


Istighfar dan Taubat Membukakan Pintu Rahmat

 Selain menjadi sebab diampuni dosa-dosa, istighfar dan taubat juga menjadi sebab dibukakan pintu rahmat. Banyak dalil dari al Qur’an maupun as Sunnah yang menunjukkan hal itu.

Pertama, apa yang disebutkan Allah Ta’ala tentang Nuh alaihis salam yang berkata kepada kaumnya, “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai”. (QS. Nuh : 10-12).

Al Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepada-Nya dan kalian senantiasa menaati-Nya, niscaya Dia akan membanyakkan rizki kalian, menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, juga mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, serta mengalirkan sungai-sungai di antara kebun-kebun itu (untuk kalian).”


Pixabay

Imam al Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Shabih, bahwasanya ia berkata, “Ada seorang laki-laki mengadu kepada Hasan al Bashri tentang kegersangan (bumi), maka beliau berkata kepadanya, ‘Beristighfarlah kepada Allah!’ Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan, maka beliau berkata kepadanya, ‘Beristighfarlah kepada Allah!’ Yang lain lagi berkata kepadanya, ’Doakanlah (aku ) kepada Allah agar Dia memberiku anak!’ Maka beliau berkata kepadanya, ‘Beristighfarlah kepada Allah!’ Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya, maka beliau mengatakan (pula) kepadanya, ‘Beristighfarlah kepada Allah!”. 

Kedua, al Qur’an surat Hud ayat 3, “Dan hendaklahlah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadanya, niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai pada waktu yang telah ditentukan...”

Imam al Qurthubi dalam tafsirnya menerangkan,  "Inilah buah dari istighfar dan taubat. Yakni Allah akan memberi kenikmatan kepada kalian dengan berbagai manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup, serta Dia tidak akan menyiksa kalian sebagaimana yang dilakukan-Nya terhadap orang-orang yang dibinasakan sebelum kalian".

Ketiga, dalam al Quran surat Hud ayat 52, "Dan (Hud berkata), ^Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa".

Keempat, hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda,
"Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah),  niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya kelapangan dan untuk setiap kesempitannya jalan keluar, dan Allah akan memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tiada disangka-sangka". (HR. Ahmad, Abu Dawud, an Nasa'i, Ibnu Majah, dan al Hakim dari Abdullah bin Abbas radiyallahu anhu).

Itulah dalil-dalil syara' yang menjelaskan bahwa istighfar dan taubat akan menjadi sebab turunnya rahmat Allah subhanahu wata'ala selama hidup di dunia, berupa kelapangan rizki. Tentu saja bukan istighfar dan taubat yang sebatas lisan. Tapi yang benar-benar dihayati oleh hati dan dibuktikan dengan perbuatan. Wallahu a'lam bish shawwaab.

Referensi :

Kunci-kunci Rizki Menurut Al Qur'an & As Sunnah, Dr. Fadhk Ilahi, Darul Haq, Jakarta

Terjemah Syarah Riyadhush Shalihin juz 1, Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Darus Sunnah, Jakarta

Terjemah Syarah  Riyadhush Shalihin juz 6, Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Darus Sunnah, Jakarta 

Kamus al Qur'an, ar Raghib al Ashfahani, Khazanah Fawaid, Depok

Komentar

Postingan populer dari blog ini

6 MINGGU BERSAMA OPREC ODOP

TETAP BERKARYA DI MASA TUA

AMBISI HARTA BERBUAH SURGA